Mengapa Uni Soviet Runtuh dalam Sejarah
Istilah komunisme memang tidak ada habisnya kalau dibicarakan di Indonesia, mulai dari isu-isu PKI, poster-poster PKI dan lainnya. Sekalipun sering membicarakan tentang komunis, kita mungkin jarang mendengar tentang Uni Soviet selain kisah-kisah heroiknya dalam perang dunia ke 2. Uni Soviet merupakan negara komunis pertama yang berhasil muncul sebagai negara adidaya setelah berakhirnya perang dunia ke 2.
Sebagai pewaris dari kekaisaran Rusia, Uni Soviet berhasil memperluas wilayahnya hingga ke Eropa tengah melalui berbagai negara satelit yang mungkin lebih dikenal dengan istilah Pakta Warsawa. Uni Soviet sangat terkenal akan kemajuannya dalam bidang teknolog dan militer khususnya mengenai teknologi roket. Berkat kemajuannya di bidang tersebut Uni Soviet mampu mengirimkan manusia pertama, Yuri Gagarin ke ruang angkasa dan kembali dengan selamat ke bumi. Lengkap dengan poster promosinya yang berjudul “aku tidak melihat tuhan disana”.
Selain itu Uni Soviet juga sangat menonjol di bidang olah raga ia sering menjadi juara dengan perolehan medali terbanyak saat olympiade. Namun dengan segala pencapainya, bagaimana mungkin negara itu bisa runtuh. Runtuhnya Uni Soviet sangat erat hubungannya dengan 2 kebijakan yang diambil pemimpin terakhirnya, Michail Gorbachev. Dua kebijakan tersebut adalah glasnost dan perestroika, yang ia yakini sebagai alasan mengapa negara barat bisa lebih maju dari negaranya.
Alasan Utama yang Menyebabkan Keruntuhan Uni Soviet
Glasnost atau keterbukaan adalah kebijakan yang menjamin kebebasan berpolitik dan berpendapat bagi masyarakatnya. Melalui kebijakan ini media-media di Uni Soviet menjadi lebih bebas dalam menceritakan masalah dan keadaan negara yang sebenarnya. Sedangkan Perestroika atau restrukturisasi merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengubah sistem ekonomi Soviet dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi pasar atau setidaknya campuran.
Mungkin kamu bertanya, bagaimana mungkin negara yang media masanya serba disensor dan sistem ekonominya begitu terpimpin, tapi pemimpinnya bisa mengambil kebijakan sedrastis itu, apa yang menyebabkannya?. Banyak yang menganggap Michail Gorbachev sebagai aktor utama yang menyebabkan keruntuhan dari Uni Soviet. Sekalipun perkataan itu tidak sepenuhnya salah, namun ada hal-hal lain yang harus kita bahas terlebih dahulu seperti siapakah Gorbachev, apakah seorang yang berprestasi atau seorang yang hanya mengandalkan koneksi. Bagaimana keadaan Uni Soviet ketika ia dipilih sebagai pemimpin?.
Michail Gorbachev bukanlah seorang pemimpin yang bodoh, sejak masa mudanya ia adalah seorang yang berbakat dan berwawasan luas. Di usia yang baru 16 tahun, pertanian kolektif yang dikelolanya berhasil melebihi target yang diminta oleh negara, untuk itu dia memperoleh penghargaan. Setelah lulus dari SMA dengan nilai yang gemilang, ia mendapat bea siswa di universitas Moskow. Berkat pencapaiannya di bidang pertanian Gorbachev semakin dipercaya oleh pemerintah sehingga baik koneksi maupun karirnya meningkat dengan pesat.
Sekalipun demikian, ketika ia menjabat sebagai pemimpin Uni Soviet, ia semakin melihat bagaimana negaranya begitu tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara barat. Baginya hal ini tidak terlepas dari adanya korupsi dan berbagai kebijakan yang salah dari para pemimpin sebelumnya. Seperti dengan melakukan intervensi militer di Afganistan maupun program-program militer yang sangat menghabiskan anggaran negara. Berbagai kebijakan tersebut membuat Uni Soviet gagal menggunakan anggaran yang ada dengan maksimal. Alhasil kondisi ekonomi Soviet semakin tertinggal dengan negara-negara barat.
Gorbachev melihat kondisi ini hanya dapat diperbaiki dengan memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang bersifat revolusioner. Oleh karenanya sebagai seorang yang sangat berwawasan, ia memutuskan untuk mengambil dua kebijakan Glasnost dan Perestroika. Program Perestroika sebenarnya bukan merupakan kebijakan yang baru, ketika Uni Soviet baru berdiri, sang pendirinya Vladimir Lenin sempat menjalankan ekonomi terpimpin namun ketika ia melihat bahwa perekonomian negaranya justru mengalami kemunduran.
Ia kemudian menggantinya dengan sistem ekonomi campuran, setelah kematiannya Soviet jatuh kepada Joseph Stalin. Ia langsung mengantikan sistem tersebut kembali ke sistem terpimpin dan sistem itu terus berjalan hingga saat Gorbachev terpilih menjadi pemimpin Uni Soviet. Hal inilah yang mungkin menginspirasi Gorbachev dalam mengambil kebijakan barunya. Dengan keterbukaan media ia percaya itu dapat memaksa para pemerintah Uni Soviet untuk bekerja dengan lebih baik, lebih efisien sekaligus dapat menekan tingkat korupsi.
Mereka yang bekerja dengan baik akan semakin dihargai dengan liputan media sedangkan mereka yang tidak bekerja dengan baik atau bahkan korupsi akan dihukum dengan media sebelum dihukum dengan hukum yang berlaku. Sekalipun demikian, nampaknya ada harga yang harus dibayar dalam menjalankan kebijakan tersebut yaitu kepercayaan rakyat. Mata uang yang sangat penting bagi setiap pemerintah, hal ini bahkan diperburuk dengan insiden bencana chanel Blue yang merupakan kecelakan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah manusia.
Ketidak mampuan Uni Soviet dalam mencegah insiden tersebut sekaligus lambatnya penanganan membuat nama Uni Soviet tercoreng baik didalam negeri maupun internasional. Namun bagaimana Gorbachev harus mengatasinya, apakah harus mencoret kembali program keterbukaannya. Gorbachev mungkin merasa hal ini merupakan ujian bagi kesungguhan pemerintahannya dalam menjalankan kebijakan demi kebijakan. Ia percaya, modernisasi memang membutuhkan proses dalam mencapainya, ia mengingat bagaimana pemimpin Rusia yang dikenal dengan nama Peter The Great berhasil membawa modernisasi bagi Rusia dan mengejar ketertinggalannya dari barat.
Keadaan ekonomi Soviet yang semakin memburuk memaksanya untuk memotong anggaran yang tidak terlalu penting. Dari berbagai bidang yang dipilih oleh Gorbachev adalah militer, KGB dan subsidi untuk negara Pakata Warsawa. Oleh karenanya kita bisa melihat bagiamana setelah kepemimpinannya Soviet mulai mengurangi jumlah senjata nuklir beserta infrastrukturnya. Sekalipun terdengar indah dan mengejar perdamaian, pada dasarnya kebijakan tersebut merupakan bagian dari pemotongan anggaran militer khususnya dalam bidang perlombaan senjata dengan negara barat yang sanagt memboroskan anggara dari Uni Soviet.
Gorbachev bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan memberikan kebebasan yang lebih luas bagi negara-negara satelit di Uni Soviet. Mirip seperti kebijakan otonomi daerah di Indonesia, kebijakan otonomi atau non intervensi inilah yang pada akhirnya mengakibat kan peristiwa runtuhnya tembok Berlin. Keputusan untuk tidak mengintervensi peristiwa runtuhnya tembok Berlin padahal terdapat 300.000 tentara Uni Soviet yang ditempatkan di Jerman Timur membuktikan pendiriannya walaupun kejadian itu tentu sangat memberatkannya. Pada tanggal 25 Desember 1991, segala keputusan yang diambilnya justru membawa Uni Soviet, negara tempat keliharannya runtuh setelah 74 tahun berdiri.